Salah seorang warga Kota Baru Parahyangan, Pandji Prawisudha, sekarang pengajar di Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB, yang mendapatkan gelar doktor dari Department of Environmental Science and Technology Tokyo Institute of Technology Japan, berusaha kuat mencari solusi bagi daur ulang sampah di Indonesia dengan keterbatasan yang ada. Berawal dari Penelitian S3 nya mengenai pengolahan sampah plastik menjadi produk yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar, Pandji memaparkan bahwa sampah plastik, terutama dari bahan PVC, memiliki kandungan klorin (Cl) yang jika dibakar akan menjadi donor dalam pembentukan dioksin, gas yang secara umum diakui beracun bagi manusia. Penelitian yang beliau lakukan adalah mengurangi kandungan klorin di dalam plastik, menggunakan proses hidrotermal, sehingga produknya lebih ramah lingkungan karena sangat sedikit mengandung klorin. Proses hidrotermal sendiri bagi Pandji dianalogikan seperti panci bertekanan (”presto”) yang tidak hanya mengempukkan tulang, tapi juga “mengempukkan” hampir semua jenis sampah, baik organik maupun plastik. Kelebihan hidrotermal adalah tidak akan mengeluarkan emisi gas karena prosesnya adalah pemasakan.
Tidak seperti insinerator yang emisinya banyak yakni karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), hidro karbon (HC), CxHy, dioksin (PCDD: polychlorinated dibenzodioxins), dan furan (PCDF: polychlorinated dibenzofurans). Hidrotermal juga tidak membutuhkan pemilahan seperti halnya biodigester. Sampah organik maupun anorganik semuanya bisa diproses. Residu hidrotermal hanya larutan klorida (Cl), sisa memasak. Hasil akhirnya berupa padatan, bisa digunakan sebagai bahan bakar pengganti briket batu bara di industriindustri.
Secara sederhana, ada tiga tahapan mengelola sampah dengan hidrotermal. Pertama, semua sampah baik organik maupun anorganik ditampung di dalam reaktor hidrotermal. Bersama dengan air, sampah dimasak pada suhu dibawah 250 derajat Celcius. Pemasakan membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Kedua, pemasakan menghasilkan bubur sampah. Cl akan larut di dalam air dan menjadi bagian yang terpisah. Bubur sampah dikeringkan selama 12 jam - 1 hari. Proses ini lebih cepat dari pengeringan biasa yang memakan waktu 2-3 hari karena struktur sel sampah sudah rusak. Ketiga, sampah kering padat dibentuk bulat seperti briket batu bara agar lebih efisien dan mudah dalam pemanfaatannya. Briket produk hidrotermal sudah tidak banyak mengandung K (kalium) dan Cl. Kedua unsur ini secara terus-menerus bisa merusak tungku dan menghasilkan emisi dioksin. Menurut Pandji, jika kita mulai menerapkan pemilahan sampah, produknya dapat digunakan untuk keperluan lain, seperti : menjadi pupuk organik dari sampah organik, pakan ternak dari sisa makanan, bahan bakar padat dan cair kualitas tinggi dari produk buangan industri. Dengan begitu, fasilitas pengolahan sampah “akhir” akan menjadi tempat pengolahan sementara sebelum ditransfer ke tempat lain yang membutuhkan, dan usia pakai TPA model baru ini akan secara praktis menjadi tidak terbatas.
Jika masyarakat memiliki pandangan baru ini, sampah tidak akan dibuang sembarangan tetapi malah dikumpulkan untuk kepentingan sendiri.
<< Kembali